Entah apa yang dimimpikan oleh Ole Werner beberapa malam kemarin. Beberapa waktu sebelumnya ia sempat mengerutkan dahi pasca melihat lawan timnya di DFB Pokal, Bayern Muenchen. Bukannya pesimis atau tidak berniat menang, namun di hadapan raksasa yang sedang menggelora seperti Die Roten, timnya tidak ubahnya kurcaci di hadapan sang jawara Eropa.
Namun, seperti layaknya cerita Cinderella yang sukar dipercaya, begitu pula cerita Holstein Kiel. Setelah tendangan terakhir Fin Bartels melewati Manuel Neuer, sontak para punggawa tim yang berlaga di divisi dua liga Jerman tersebut berlari gembira merayakan kemenangannya.
Tak ubahnya kompetisi yang lain, sepakbola selalu tentang
hasil. Apapun proses yang dilalui, semuanya berujung pada memenangkan
kompetisi. Maka tak heran, sepakbola sebagai salah satu industri hiburan
menjanjikan, berujung pada oligarki modal. Maka mungkin kita bisa melihat
tim-tim seperti Manchester City atau Paris Saint Germain yang bersandar pada
kekayaan sang pemilik.
Klub besar tidak hanya melulu soal fulus dan pemain instan.
Dengan uang melimpah, mereka dapat kembangkan fasilitas latihan dan perbesar
akademi untuk tarik minat bibit bakat.
Pada akhirnya, seperti kata pelatih Atalanta, Gian Piero
Gasperini, “Klub kecil harus bertarung dengan hati dan hasrat”. Semangat
berburu raksasa jadi pelecut bara dalam mata para penantang.
Dalam tulisannya, Michael Cox mengatakan bahwa kompetisi
dengan format babak gugur seperti liga Champions atau piala liga setidaknya
lebih bisa memberi kejutan ketimbang liga yang dapat diprediksi.
Hal tersebut nampaknya juga diamini oleh Atletico Madrid.
Status sebagai tim besar malah menjadikan mereka tidak ubahnya hewan buruan
para pembunuh raksasa. Alhasil, seperti cerita Goliath, Los Rojiblancos akhirnya tumbang di hadapan musuh kecil yang
berkutat di level ketiga dalam piramida LaLiga, UE Cornella pekan lalu.
Kesempatan tim-tim kecil untuk menaklukkan para raksasa yang
berjaya di divisi teratas bukan bualan. Meski sulit bertanding di kompetisi
piala liga seperti berjalan di atas benang tipis, bakal selalu ada peluang
untuk tim-tim yang kurang beruntung tersebut.
Wigan Athletic yang terseok-seok di liga Inggris 2012-2013 barangkali
menjadi bukti sahih bahwa kompetisi piala liga adalah ladang berburu raksasa.
Datang ke Wembley tanpa ekspektasi, Calum McManaman tampil kesetanan menghadapi
kedigdayaan Manchester City di final piala FA.
Menjelang tutup laga, Ben Watson menghadirkan keriuhan untuk
penduduk The Latics –julukan Wigan
Athletic-, lalu semangat juang yang membawa di bawah hujan, memastikan Wigan
Athletic mengangkat piala meski merana di zona degradasi.
Holstein Kiel bisa saja segera rontok di babak selanjutnya,
atau setelahnya lagi. Namun, kemenangan atas Bayern Muenchen yang menurunkan hampir
semua timnya, tidak ubahnya sebuah trofi untuk ti yang bermarkas di
Holstein-Stadion tersebut.
Barangkali, Fin Bartels tidak akan kemana-mana, namun ia
bisa berbangga diri pernah menjebol gawang kiper terbaik dunia 2020, dua kali
pula. Ia bisa menceritakan bahwa ia lebih hebat dari pemain terbaik dunia di
malam ini. Bahkan, ia bisa berbangga dengan berujar timnya mengalahkan tim
terbaik.
Lalu, kemenangan tersebut tidak hanya menyenangkan untuk Ole Werner dan anak asuhnya, sebagai penonton netral, momen giant killing selalu menjadi kabar gembira untuk kita semua.
Komentar
Posting Komentar