Setiap tahunnya, tanggal
22 April diperingati sebagai hari bumi. Keesokan harinya, 23
April dinyatakan sebagai hari buku sedunia. Dilihat secara sekilas, dua hari
tersebut memiliki relevansi yang positif. Di mana dunia direkam dengan aksara oleh buku. Sedangkan seperti yang kita
ketahui, buku merupakan jendela dunia. Namun, konsep serta apa yang kita ketahui secara sekilas, sering tidak sesuai
dengan apa yang terjadi di lapangan.
Sebelum kita membahas kedua hari
besar ini, kita seharusnya terlebih dahulu bersepakat untuk tidak menyinggung
atau mengabaikan tentang survei minat baca yang seharusnya masih dipertanyakan
keakuratannya. Kita di sini hanya akan membahas tentang ironi hubungan hari
bumi dan hari buku sedunia.
Berbicara mengenai buku, seperti
yang umumnya kita ketahui sekarang, ada dua jenis buku. Yaitu, buku fisik dan
juga buku digital atau yang biasa kita sebut dengan E-Book. Dengan perkembangan
zaman yang juga dibarengi dengan revolusi industri 4.0 yang begitu cenderung
dengan teknologi berbasis digital, barangkali kita bakal beranggapan jika buku
fisik telah mati dan berganti dengan buku digital. Namun, menurut survei yang
dilakukan oleh Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) menunjukkan data yang
sebaliknya. Menurut survei yang dilakukan pada tahun 2016, minat masyarakat
Indonesia untuk membeli buku secara digital masih rendah ketimbang buku fisik,
dengan rata-rata yang diunduh adalah buku digital gratis.
Bukan hanya Indonesia, pada 2013
penjualan buku digital di Amerika Serikat juga mengalami penurunan sebesar 5
persen. Hal tersebut berbanding terbalik buku bersampul tebal yang naik 11,5
persen disbanding tahun sebelumnya. Pada akhir tahun yang sama, Penguin
randomhouse Inggris juga melaporkan bahwa mereka menjual buku elektronik 1,06
juta kopi lebih sedikit dari tahun sebelumnya.
Orang kerap berasumsi bahwa
generasi milenial lebih cenderung untuk memilih buku elektronik ketimbang buku
fisik. Ingenta (dulu bernama Publishing Technology) merilis hasil survei
terhadap 2 ribu orang yang berusia 18-34 tahun di Amerika dan inggris, sebanyak
71 persen mengakui membaca buku fisik sedangkan 37 persen mengaku membaca buku
elektronik pada 2014. Hal tersebut menunjukkan bahwa menggilanya industri
digital, bukan berarti turut mematikan daya beli masyarakat terhadap buku
fisik.
Meski demikian, ada hal yang
selama ini kita abaikan dengan tetap berjayanya buku fisik tersebut. Yakni,
jumlah kertas yang terpakai untuk mencetak buku. Walau seperti yang kita ketahui, kertas tidak hanya menjadi buku, namun
juga (atau bahkan lebih banyak) digunakan untuk kepentingan semisal dokumen,
surat, berkas, ataupun selebaran-selebaran seperti surat kabar. Meski demikian,
harus kita akui bahwa industri buku juga termasuk dalam penyumbang angka dalam
tingginya permintaan kertas dunia.
Berbicara tentang produksi kertas, tentu kita tidak
dapat melupakan pohon (atau dalam hal ini adalah kayu) sebagai bahan pembuat
kertas. Dari sebatang pohon, dapat dihasilkan 15 – 17 rim kertas. Di mana 400
rim kertas sama dengan 1 ton kertas. Maka, dibutuhkan 25 batang pohon untuk
membuat 1 ton kertas.
Menurut data kementerian Perindustrian, produksi
kertas di Indonesia mencapai 13 ton setiap tahunnya. Berarti, kita membutuhkan pengorbanan dari
325 batang pohon untuk ditumbalkan menjadi kertas yang kita pakai untuk menulis
skripsi, dokumen, surat kabar yang kita baca, buku tulis yang kita pakai
mengerjakan PR, hingga buku yang kita baca untuk menambah pengetahuan tentang
bumi.
Tidak sampai di situ saja, untuk memenuhi kebutuhan kertas nasional,
perusahaan produsen kertas juga mendapatkan izin untuk membuat hutan tanaman
industri melalui izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman
(UPHHK-HT) pada tahun 2013 seluas total 10 juta hektar (Forest Watch
Indonesia). Mirisnya lagi, dari sebaran lahan seluas itu, hanya 5, 7 juta
hektar tanah yang ditanami dengan pohon. Sehingga, menurut laporan dari
Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), masih ditemukan pelanggaran
beberapa perusahaan dengan menggunakan kayu alam. Padahal, sebelumnya
perusahaan tersebut telah membuat komitmen untuk tidak menggunakan kayu alam.
Hal tersebut semakin diperparah dengan data yang
mengatakan ada 156 desa di 8 kabupaten di provinsi Jambi yang sedang berkonflik
dengan perusahaan pemilik hutan tanaman industri. Di mana sering terjadi
penyerobotan lahan hingga sengketa tanah (Walhi Jambi).
Pada akhirnya, jawaban yang akan kita temui dari dua
premis yang saling bersilangan ini sangat mirip dengan kondisi pertambangan
batu bara yang sedang hangat diperbincangkan. Di satu sisi, ada banyak pihak
yang mengalami kerugian serta betapa banyak kerusakan yang ditimbulkan. Namun,
di lain pihak batu bara juga diperlukan untuk menjadi sumber energi pembangkit
listrik tenaga uap untuk menghasilkan listrik yang kamu gunakan untuk men-charge ponsel atau laptop yang kamu
gunakan untuk membaca artikel ini.
Sehingga, berbicara tentang segala hal yang terjadi
di muka bumi ini, tentu kita juga berbicara tentang sebab akibat. Sebagai
manusia, kita tidak bisa selalu menyenangkan segala pihak dan tidak merusak
apapun dalam takaran ideal. Yang bisa kita lakukan adalah menjadi bijak serta
tidak lupa untuk tetap menjadi manusia.
Sumber :
Komentar
Posting Komentar